Arsip Rasa di Museum; Alexander Cardel

Nadya
4 min readFeb 5, 2022

--

Apakah kau menyukai museum? Salah, salah. Harusnya basa basi seperti ini dimulai dengan “Apa kau suka jalan-jalan?” “Kalau sedang bosan apa yang akan kau lakukan?”. Benar seperti itu kan? Tapi karna sudah terlanjur, jadi apa kau suka museum? Aku pribadi cukup enyukainya. Memang menyenangkan karna pada umumnya suasana di museum akan lebih tenang dibanding Coffee Shop dengan harga secangkir kopi nya menyentuh angka 50.000 rupiah dan fasilitas wifi yang tidak terbatas. Tapi beberapa hal dalam museum tidak dapat ku pahami. Anehnya, aku selalu ingin kembali lagi, dan lagi.

Aku selalu tidak paham bagaimana seseorang yang sangat menyukai seni dapat menangis di depan lukisan gedung yang hitam putih, bahkan saat sekalipun Ia tak pernah tau letak gedung itu. Atau bahkan Ia pun tak tau apakah gedung itu nyata atau hanya imajinasi senimannya. Aku juga tidak paham bagaimana sesoerang dapat merasa ‘dipeluk’ saat melihat cangkir keramik putih dengan hiasan bunga biru berkelopak kecil di sekeliling bibirnya. Aku tidak pernah paham saat sesorang yang melihat ke arah dua cermin yang tidak simetris sama sekali disatukan dengan pandangan yang sendu. Yang ku lihat adalah percuma karna toh dua cermin itu bukan dari bagian yang sama. Dan ya… aku tidak pernah bisa memahami semua itu.

Hal-hal tentang museum sebenarnya sangat menarik untuk dicari tau. Tapi bagiku itu sedikit rumit karna aku tak pernah bisa memahami perasaan di dalamnya. Museum yang rumit, tapi aku selalu ingin datang. Beberapa temanku yang tinggal di Jogja selalu memberitahuku informasi pameran yang akan diadakan. Sayang sekali, aku tidak pernah bisa datang. setidaknya belum.

Aku membicarakan museum sebab ku lihat hampir seluruh postingan akun instagram Rkive berisi museum. Aku kembali bertanya-tanya. Apa ya yang dirasakan sesorang saat mengunjungi tempat tempat itu? atau pertanyaan baru seperti “Mengapa rasanya sangat tenang? Kenapa rasanya seperti punya teman?” Salah satu postingan yang ku sukai dari feed nya adalah foto galeri milik Alexander Cardel di Museum of Fine Arts yang terletak di Houston. Aku menyukainya, tapi jika kau tanyakan alasannya, maka jawabanku adalah tidak tau. Bagaimana ya menuliskannya…? Tenang? Pura-pura tenang? Berusaha tenang? Aku tidak benar benar mengerti tentang museum dan segala isinya. Tapi aku menyukainya. Sejak aku melihat karya Alexander Cardel, aku jadi mulai berkhayal.

Apa yang akan kulakukan saat aku benar-benar bisa melihatnya secara langsung? Apa aku juga akan berdiri di depannya sangat lama? Apa aku akan mencoba memahami bagaimana garis garis aneh yang membentuk gambar aneh pula itu terlihat sangat menarik? Atau melamunkan mengapa yang satu memiliki background putih dengan pencahayaan yang tinggi, sedangkan satu nya lagi memiliki background gelap dengan pencahayaan yang minim? Aku benar benar berkhayal.

Museum selalu menjadi tempat pulang bagi orang-orang yang menyukai seni. Tapi terlepas dari itu, museum selalu punya caranya sendiri membawa kenangan bagi setiap orang. Salah satunya aku. Dia memberiku oleh-oleh berupa pertanyaan pertanyaan tak masuk akal bahkan saat aku hanya melihatnya dari foto. Jadi harapanku, semoga suatu keajaiban membawaku berkunjung kesana. Museum of Fine Arts.

Selain museum dan banyak hal lainnya, aku juga tidak pernah tau cara mengakhiri sebuah tulisan. Aku selalu merasa kesulitan untuk menuliskan bagian penutup agar terkesan menyentuh atau keren. Atau setidaknya terlihat natural. Tapi jujur saja, karna sudah semakin gelap aku ingin menghentikan tulisan ini. Aku juga merasa kalau tulisan ini sudah terlalu panjang untuk sekedar bisa dibaca dalam kereta atau bis saat jam 5 sore. Ngomong-ngomong, aku akan menyelipkan foto dari Rkive saat dia melihat karya Alexander Cardel yang sangat ku sukai itu.

Terima kasih sudah membaca, semoga harimu menyenangkan!

Capturing The Void by Alexander Calder in Museum of Fine Arts Houston, Potret by Kim Namjoon (Rkive)

--

--

Nadya
Nadya

Written by Nadya

Na and her simple complexity.

No responses yet